KH. Alawi al Bantani 20 Bahaya Lisan
Bab 1
Diam itu Mutiara
Kita semua mengetahui dengan baik, bahwa bahaya yang
ditimbulkan oleh lisan adalah sangat besar dan berbahaya. Permusuhan,
kebencian, peperangan, pembunuhan, semuanya berasal dari sebuah perintah lisan.
Cukup dengan mengatakan.“laksanakan!” maka terjadilah apa yang dikehendaki oleh
si pemilik lisan tersebut.
Imam al-Ghazali berkata, “Sudah sepantasnya kita
melakukan pembicaraan yang mendatangkan manfaat, karena jika
melakukan hal-hal yang tak penting, maka kita kehilangan waktu yang teramat
berharga. Apabila kita sibuk dengan berdzikir kepada-Nya, sudah barang tentu
hal tersebut akan jauh lebih bermanfaat daripada memperbincangkan sesuatu yang
tidak berguna. Mudah-mudahan Allah menurunkan ilham ke dalam hati kita dengan
cara yang tidak disangka-sangka. Apabila kita membaca tasbih, tahlil, dan
dzikir,yang lainnya sebagai pengganti pembicaraan yang sia-sia, maka hal itu
lebih baik bagi kita. Barangsiapa menyibukkan diri dalam hal-halyang
kurang berguna meskipun halal, tetapi meninggalkan dzikir kepada-Nya, maka hal
itu tidak akan mendatangkan manfaat dan keuntungan yang besar bagi dirinya.
Sekalipun ia tidak terlibat dalam perbuatan dosa, tetapi sebenarnya kerugiaanya
adalah hilangnya pahala dalam berdzikir kepada-Nya.”1 (Imam
al-Ghazali , Ihya ‘Ulummuddin, bab “Afatul Lisan” )
(Dalam QS 50:18)
Allah SWT telah befirman :
Tidak ada satu ucapan pun yang diucapkan, melainkan
tidak ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.
Selain menghindari pembicaraan yang tidak perlu,
kondisi yang paling baik adalah menyelamatkan lisan dari mengumpat, mengumbar
fitnah, sum’ah, berbohong, bertengkar, berbantah-bantahan, dan lain
sebagainya.
‘Umar bin Khatab r.a. berkata, “Janganlah kalian
bertengkar mengenai hal-hal yang tidak perlu. jauhkan dirimu dari
musuh-musuhmu, dan berhati-hatilah kepada setiap orang kecuali kawan-kawanmu
yang memiliki keimanan. Tanpa memiliki rasa takut kepada-Nya seseorang tidak
dapat menjadi orang yang beriman. Jangan bersahabat dengan para pelaku maksiat,
karena ada kekhawatiran bahwa kalian pun akan terjerumus untuk
melakukan maksiat. Jangan biarkan mereka menyelidiki
rahasia-rahasiamu. Bermusyawarahlah dengan orang yang bertaqwa kepada Allah
dalam segala urusanmu.”
Sayyidina ‘Ali k.w. berkata : “Seluruh kebaiakan
terkumpul dalam dalam 4 perkara: diam, berbicara, melihat, dan bergerak.”Maka
setiap ucapan yang tidak mengandung dzikir berarti sia-sia. Setiap diam yang
tidak mengandung perenungan berarti suatu kelengahan. Setiap pengelihatan yang
tidak mengandung pelajaran darinya berarti kelalaian sedangkan setiap gerakan
yang tidak untuk beribadah kepada Allah berarti sesuatu kekosongan. Semoga
Allah memberi rahmat kepada hamba yang menjadikan ucapannya sebagai dzikir,
diamnya sebagai perenungan, melihatnya sebagai pelajaran, dan gerakannya untuk
beribadah, sementara orang lain terhindar dan selamat dari kejahatan
lisan dan tangannya.”
Umar bin khatab r.a. pernah melihat
Abubakar ash-shiddiq r.a. menarik-narik lidahnya dengan tangannya. Kemudian
Umar bertanya kepada Abubakar, “Wahai khalifah Rasulullah, apa yang sedang Anda
lakukan?”
abu bakar ash-shiddiq berkata, “Inilah yang
mendatangkan kerusakan kepadaku, karena Rasulullah saw. Pernah bersabda:
“Tiada suatu pun yang yang berasal dari tubuh,
melainkan semuanya mengadu kepada Allah mengenai ketajaman lisannya.” 2 (diriwayatkan
oleh al-Baihaqi)
Ibnu Mas’ud r.a. pun
pernah berkata, “Hai lisan, katakanlah yang baik niscaya
kamu akan beruntung. Diamlah dari perkataan yang buruk, maka kamu akan selamat
sebelum kamu menyesal.” Kemudian ada sahabat lain yang bertanya, kepada Ibnu
Mas’ud, “Wahai abâ Abdurrahman, apakah ucapanmu itu milikmu sendiri atau
engakau menirukan ucapan orang lain?”
Ibnu Mas’ud berkata, “Aku mendengarnya dari Rasulullah
saw., dimana beliau bersabda:
“Sesungguhnya kesalahan anak Adam itu terletak pada
lisannya.”3 (diriwayatkan oleh ath-Thabrani dan al-baihaqi)
Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. Pernah
bersabda:
“ barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir,
maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam.”
Ibnu ‘Arabi berkata, “hendaklah engkau menjaga
ucapanmu sebagaimana engkau menjaga perbuatanmu. Karena itu dikatakan,
‘Barangsiapa yang menghitung ucapannya sebagai perbuatannya, maka ia akan
mengurangi ucapannya tersebut.’ Ketahuilah Allah swt selalu menjaga ucapan
hamba-hamba-Nya, karena Allah selalu hadir pada lisan setiap orang yang
berbicara. Allah tidak mencegahmu dari mengucapkannya. Akan tetapi, engkau janganlah
mengucapkannya, jika memang engkau tidak meyakininya, karena Allah akan
menanyaimu tentang hal itu.”4 4 (Wasiat
Ibnu Arabi,hlm. 30, Pustaka Hidayah, cet. Kedua, Juli 2007)
Telah
diriwayatkan sebuah hadits yang berasal dari Abu Sa’id al-Khudri r.a. :
“Wahai Rasulullah, berilah aku wasiat!” beliau
pun bersabda, “Hendaklah engkau selalu bertaqwa kepada Allah, karena
takwa adalah himpunan dari segala kebaikan. Hendaklah engkau berjihad, karena
jihad adalah pertapaan bagi kaum muslimin. Hendaklah engkau senantiasa
berdzikir kepada-Nya, dan membaca alquran, karena sesungguhnya yang demikian
itu merupakan cahaya bagimu di bumi dan penyebutan namamu di langit. Dan
jagalah lisanmu, kecuali dalam kebaikan. Sesungguhnya dengan demikian itu
engkau telah mengalahkan setan.”
Imam Abu Laits menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan
takwa dalam hadits di atas adalah menjauhkan diri dari segala hal yang dilarang
bahwasanya, menjauhkan diri dari segala hal yang dilarang oleh-Nya. Apabila
seseorang mampu melaksanakan segala hal tersebut, maka ia
telah benar-benar mengumpulkan berbagai kebaikan. Sedangkan maksud
sabda Nabi saw.. “Jagalah lisanmu!” adalah menjaga lisan dari segala ucapan,
kecuali ucapan yang baik-baik, sehingga anda mendapatkan manfaatnya, atau diam
sajalah agar selamat. Manusia tidak dapat mengalahkan setan kecuali
dengan diam. Oleh karena itu, setiap mukmin harus menjaga lisannya, sehingga
dirinya terlindung dari setan dan Allah swt akan menutupi aib-aibnya.
Imam Abul Laits menuturkan dari Muhammad bin al-Fadhl
dari Muhammad bin Ja’far, dari Ibrahim dari Ya’la,
“Kami masuk kerumah Muhammad bin Suqh az-Zahid
kemudian ia berkata, ‘Bolehkah aku menceritakan kepadamu sebuah hadist yang
barangkali bermanfaat bagimu karena hadist tersebut telah memberikan manfaat
kepadaku. ’Lalu berkata, ‘atha‘ bin Rabah berkata kepadaku, ‘Wahai keponakanku,
sesungguhnya orang-orang sebelum kamu tidak suka berbicara yang tidak penting
dan mereka menganggap bahwa semua perkataan itu tidak penting, kecuali membaca
Alquran, mengajak untuk berbuat baik, melarang dari perbuatan mungkar, atau
berbicara dalam mencari penghidupan (berdagang).”
Kemudian ia berkata, “Apakah engkau mengingkari firman
Allah Ta’ala:
“Dan sesungguhnya bagimu ada (malaikat-malaikat) yang
mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi-Nya) dan yang mencatat
(pekerjaan-pekerjaan itu ). (QS. 82: 10-11 )
Dan firman-Nya yang lain:
Wahai Allah, Pencipta langit dan bumi, Yang mengetahui
perkara yang gaib dan nyata, Engkaulah yang memutuskan antara hamba-hamba-Mu
tentang apa yang selalu mereka perselisihkan.” (QS 39 :46)
Imam al-Auzâ’î berkata, “ Orang yang beriman itu
sedikit bicara dan banyak amal, sedangkan orang munafik itu banyak bicara
sedikit amal.
Imam Abu Laits menuturkan dari Abu Ja’far, sanad dari
Hasan al-Bashri, ia berkata, “Sesungguhnya lisan orang yang
bijaksana berada di belakang hatinya. Jika hendak berbicara, maka ia
akan mempertimbangkannya matang-matang di dalam hatinya. Apabila yang akan
diucapkannya itu bermanfaat bagi dirinya, maka ia akan
berbicara, tetapi apabila apa yang diucapkannya itu akan mendatangkan
kerugian bagi dirinya, maka ia akan menahan dirinya. Hati orang bodoh berada
pada ujung lidahnya. Jika hendak mengucapkan sesuatu ia tidak pernah
mau memikirkannya. Apa pun yang ingin diucapkan, langsung saja
diucapkannya.”
Seorang penyair berkata :
Ilmu adalah perhiasan, dan diam adalah keselamatan
Apabila engkau berbicara, maka ringkaslah kalimatmu
Kamu tidak akan menyesal karena sesekali diam
Namun, sungguh engkau akan menyesal karena
terlalu banyak bicara secara berulang kali.
Seorang penyair lain berkata :
Seorang pemuda bisa mati karena tergelincir lidahnya,
dan tidak ada seorangpun yang mati karena tergelincir kakinya .
Seorang bijak mengatakan bahwa diam itu mengandung
7.000 kebaikan, dan semuanya itu dirangkum dalam tujuh kalimat yang masing-masing
kalimat mengandung 1000 kebaikan. Ketujuh kaliamat itu adalah :
1. Diam itu merupakan ibadah tanpa bersusah payah;
2. Diam itu merupakan perhiasan tanpa emas dan permata;
3. Diam itu merupakan kewibawaan tanpa kekuasaan ;
4. Diam itu merupakan benteng tanpa pagar;
5. Diam itu merupakan kekayaan tanpa merendahkan orang
lain;
6. Diam itu merupakan istirahat bagi malaikat pencatat
amal;
7. Diam itu merupakan penutup aib.
Dari Shafwan bin Salim, ia berkata bahwa Rasulullah
saw. Bersabda. “Perhatikan, akan aku kabarkan kepadamu mengenai suatu ibadah
yang paling mudah dan paling ringan, yaitu diam dan berbudi pekerti
baik.”
Ibnu Mas’ud r.a. berkata bahwa
Rosululloh saw. Bersabda, “Manusia itu ada tiga macam,
yaitu yang beruntung, yang selamat, dan yang binasa. Yang beruntung
adalah yang banyak berdzikir kepada-Nya, yang selamat yang diam, sementara yang
binasa adalah yang tenggelam dalam kebatilan.”
Nabi Isa a.s. pernah bersabda bahwa ibadah ada sepuluh
bagian. Sembilan bagiannya barada pada diam. Sedangkan satu bagian
lagi berada pada hatinya.
Abu Bakar r.a. pernah meletakan batu kecil pada
mulutnya, untuk mencegah lidahnya dari banyak berkata-kata. Ia menunjukan
lidahnya dan berkata, “inilah yang mendatangkan kerusakan padaku.”
Syaikh Abdul qadir al-jailani berkata, “perkataan
tanpa amal seperti rumah tanpa pintu dan penjaga. Harta yang tidak diinfakkan
seperti pengakuan tanpa bukti. Tubuh tanpa ruh laksana patung tanpa tangan dan
kaki, serta tanpa kekuatan. Sebagian besar amal kalian laksana tubuh tanpa ruh.
Ruh disini adalah keikhlasan, tauhid dan berpegang teguh kepada
Al-quran dan as-Sunnah.”6(Syaikh Abdul Qadir, Fat-hur
Rabbani, bab”perkataan tanpa amal.” )