Sabtu, 20 Desember 2014

Diam itu Mutiara


KH. Alawi al Bantani 20 Bahaya Lisan
Bab 1
Diam itu Mutiara
Kita semua mengetahui dengan baik, bahwa bahaya yang ditimbulkan oleh lisan adalah sangat besar dan berbahaya. Permusuhan, kebencian, peperangan, pembunuhan, semuanya berasal dari sebuah perintah lisan. Cukup dengan mengatakan.“laksanakan!” maka terjadilah apa yang dikehendaki oleh si pemilik lisan tersebut.
Imam al-Ghazali berkata, “Sudah sepantasnya kita melakukan pembicaraan  yang mendatangkan manfaat, karena jika melakukan hal-hal yang tak penting, maka kita kehilangan waktu yang teramat berharga. Apabila kita sibuk dengan berdzikir kepada-Nya, sudah barang tentu hal tersebut akan jauh lebih bermanfaat daripada memperbincangkan sesuatu yang tidak berguna. Mudah-mudahan Allah menurunkan ilham ke dalam hati kita dengan cara yang tidak disangka-sangka. Apabila kita membaca tasbih, tahlil, dan dzikir,yang lainnya sebagai pengganti pembicaraan yang sia-sia, maka hal itu lebih baik bagi kita. Barangsiapa menyibukkan diri dalam hal-halyang kurang berguna meskipun halal, tetapi meninggalkan dzikir kepada-Nya, maka hal itu tidak akan mendatangkan manfaat dan keuntungan yang besar bagi dirinya. Sekalipun ia tidak terlibat dalam perbuatan dosa, tetapi sebenarnya kerugiaanya adalah hilangnya pahala dalam berdzikir kepada-Nya.”1 (Imam al-Ghazali , Ihya ‘Ulummuddin, bab “Afatul Lisan” )
(Dalam QS 50:18)
Allah SWT telah befirman :
Tidak ada satu ucapan pun yang diucapkan, melainkan tidak ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.
Selain menghindari pembicaraan yang tidak perlu, kondisi yang paling baik adalah menyelamatkan lisan dari mengumpat, mengumbar fitnah, sum’ah, berbohong, bertengkar, berbantah-bantahan, dan lain sebagainya.  
‘Umar bin Khatab r.a. berkata, “Janganlah kalian bertengkar mengenai hal-hal yang tidak perlu. jauhkan dirimu dari musuh-musuhmu, dan berhati-hatilah kepada setiap orang kecuali kawan-kawanmu yang memiliki keimanan. Tanpa memiliki rasa takut kepada-Nya seseorang tidak dapat menjadi orang yang beriman. Jangan bersahabat dengan para pelaku maksiat, karena ada kekhawatiran bahwa kalian pun akan terjerumus untuk melakukan  maksiat. Jangan biarkan mereka menyelidiki rahasia-rahasiamu. Bermusyawarahlah dengan orang yang bertaqwa kepada Allah dalam segala urusanmu.”
Sayyidina ‘Ali k.w. berkata : “Seluruh kebaiakan terkumpul dalam dalam 4 perkara: diam, berbicara, melihat, dan bergerak.”Maka setiap ucapan yang tidak mengandung dzikir berarti sia-sia. Setiap diam yang tidak mengandung perenungan berarti suatu kelengahan. Setiap pengelihatan yang tidak mengandung pelajaran darinya berarti kelalaian sedangkan setiap gerakan yang tidak untuk beribadah kepada Allah berarti sesuatu kekosongan. Semoga Allah memberi rahmat kepada hamba yang menjadikan ucapannya sebagai dzikir, diamnya sebagai perenungan, melihatnya sebagai pelajaran, dan gerakannya untuk beribadah, sementara orang lain terhindar dan selamat dari kejahatan lisan  dan tangannya.”
Umar bin khatab r.a.  pernah melihat Abubakar ash-shiddiq r.a. menarik-narik lidahnya dengan tangannya. Kemudian Umar bertanya kepada Abubakar, “Wahai khalifah Rasulullah, apa yang sedang Anda lakukan?”
abu bakar ash-shiddiq berkata, “Inilah yang mendatangkan kerusakan kepadaku, karena Rasulullah saw. Pernah bersabda:
“Tiada suatu pun yang yang berasal dari tubuh, melainkan semuanya mengadu kepada Allah mengenai ketajaman lisannya.” 2  (diriwayatkan oleh al-Baihaqi)
Ibnu Mas’ud r.a. pun pernah  berkata,  “Hai lisan, katakanlah yang baik niscaya kamu akan beruntung. Diamlah dari perkataan yang buruk, maka kamu akan selamat sebelum kamu menyesal.” Kemudian ada sahabat lain yang bertanya, kepada Ibnu Mas’ud, “Wahai abâ Abdurrahman, apakah ucapanmu itu milikmu sendiri atau engakau menirukan ucapan orang lain?”
Ibnu Mas’ud berkata, “Aku mendengarnya dari Rasulullah saw., dimana beliau bersabda:
“Sesungguhnya kesalahan anak Adam itu terletak pada lisannya.”(diriwayatkan oleh ath-Thabrani dan al-baihaqi)
Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. Pernah bersabda:
“ barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam.”
Ibnu ‘Arabi berkata, “hendaklah engkau menjaga ucapanmu sebagaimana engkau menjaga perbuatanmu. Karena itu dikatakan, ‘Barangsiapa yang menghitung ucapannya sebagai perbuatannya, maka ia akan mengurangi ucapannya tersebut.’ Ketahuilah Allah swt selalu menjaga ucapan hamba-hamba-Nya, karena Allah selalu hadir pada lisan setiap orang yang berbicara. Allah tidak mencegahmu dari mengucapkannya. Akan tetapi, engkau janganlah mengucapkannya, jika memang engkau tidak meyakininya, karena Allah akan menanyaimu tentang hal itu.”4 4  (Wasiat Ibnu Arabi,hlm. 30, Pustaka Hidayah, cet. Kedua, Juli 2007)
        Telah diriwayatkan sebuah hadits yang berasal dari Abu Sa’id al-Khudri r.a. :
“Wahai Rasulullah, berilah aku wasiat!” beliau pun  bersabda, “Hendaklah engkau selalu bertaqwa kepada Allah, karena takwa adalah himpunan dari segala kebaikan. Hendaklah engkau berjihad, karena jihad adalah pertapaan bagi kaum muslimin. Hendaklah engkau senantiasa berdzikir kepada-Nya, dan membaca alquran, karena sesungguhnya yang demikian itu merupakan cahaya bagimu di bumi dan penyebutan namamu di langit. Dan jagalah lisanmu, kecuali dalam kebaikan. Sesungguhnya dengan demikian itu engkau telah mengalahkan setan.”
Imam Abu Laits menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan takwa dalam hadits di atas adalah menjauhkan diri dari segala hal yang dilarang bahwasanya, menjauhkan diri dari segala hal yang dilarang oleh-Nya. Apabila seseorang mampu melaksanakan segala hal tersebut, maka ia telah  benar-benar mengumpulkan berbagai kebaikan. Sedangkan maksud sabda Nabi saw.. “Jagalah lisanmu!” adalah menjaga lisan dari segala ucapan, kecuali ucapan yang baik-baik, sehingga anda mendapatkan manfaatnya, atau diam sajalah agar selamat.  Manusia tidak dapat mengalahkan setan kecuali dengan diam. Oleh karena itu, setiap mukmin harus menjaga lisannya, sehingga dirinya terlindung dari setan dan Allah swt akan menutupi aib-aibnya.
Imam Abul Laits menuturkan dari Muhammad bin al-Fadhl dari Muhammad bin Ja’far, dari Ibrahim dari Ya’la,
“Kami masuk kerumah Muhammad bin Suqh az-Zahid kemudian ia berkata, ‘Bolehkah aku menceritakan kepadamu sebuah hadist yang barangkali bermanfaat bagimu karena hadist tersebut telah memberikan manfaat kepadaku. ’Lalu berkata, ‘atha‘ bin Rabah berkata kepadaku, ‘Wahai keponakanku, sesungguhnya orang-orang sebelum kamu tidak suka berbicara yang tidak penting dan mereka menganggap bahwa semua perkataan itu tidak penting, kecuali membaca Alquran, mengajak untuk berbuat baik, melarang dari perbuatan mungkar, atau berbicara dalam mencari penghidupan (berdagang).”
Kemudian ia berkata, “Apakah engkau mengingkari firman Allah Ta’ala:
“Dan sesungguhnya bagimu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi-Nya) dan yang mencatat (pekerjaan-pekerjaan itu ). (QS. 82: 10-11 )
Dan firman-Nya yang lain:
Wahai Allah, Pencipta langit dan bumi, Yang mengetahui perkara yang gaib dan nyata, Engkaulah yang memutuskan antara hamba-hamba-Mu tentang apa yang selalu mereka perselisihkan.” (QS 39 :46)
Imam al-Auzâ’î berkata, “ Orang yang beriman itu sedikit bicara dan banyak amal, sedangkan orang munafik itu banyak bicara sedikit amal.
Imam Abu Laits menuturkan dari Abu Ja’far, sanad dari Hasan  al-Bashri, ia berkata, “Sesungguhnya lisan orang yang bijaksana berada di belakang hatinya. Jika hendak berbicara,  maka ia akan mempertimbangkannya matang-matang di dalam hatinya. Apabila yang akan diucapkannya  itu bermanfaat bagi dirinya, maka ia akan berbicara,  tetapi apabila apa yang diucapkannya itu akan mendatangkan kerugian bagi dirinya, maka ia akan menahan dirinya. Hati orang bodoh berada pada ujung lidahnya. Jika hendak mengucapkan sesuatu  ia tidak pernah mau memikirkannya. Apa pun yang ingin diucapkan, langsung saja diucapkannya.”      
Seorang penyair berkata :
Ilmu adalah perhiasan, dan diam adalah keselamatan
Apabila engkau berbicara, maka ringkaslah kalimatmu
Kamu tidak akan menyesal karena sesekali diam
Namun, sungguh engkau akan menyesal  karena terlalu banyak bicara secara berulang kali.

Seorang penyair lain berkata :
Seorang pemuda bisa mati karena tergelincir lidahnya, dan tidak ada seorangpun yang mati karena tergelincir kakinya .
Seorang bijak mengatakan bahwa diam itu mengandung 7.000 kebaikan, dan semuanya itu dirangkum dalam tujuh kalimat yang masing-masing kalimat mengandung 1000 kebaikan. Ketujuh kaliamat itu adalah :
1.       Diam itu merupakan ibadah tanpa bersusah payah;
2.       Diam itu merupakan perhiasan tanpa emas dan permata;
3.       Diam itu merupakan kewibawaan tanpa kekuasaan ;
4.       Diam itu merupakan benteng tanpa pagar;
5.       Diam itu merupakan kekayaan tanpa merendahkan orang lain;
6.       Diam itu merupakan istirahat bagi malaikat pencatat amal;
7.       Diam itu merupakan penutup aib.
Dari Shafwan bin Salim, ia berkata bahwa Rasulullah saw. Bersabda. “Perhatikan, akan aku kabarkan kepadamu mengenai suatu ibadah yang paling mudah dan paling ringan, yaitu diam dan berbudi  pekerti baik.”
Ibnu Mas’ud r.a.  berkata bahwa Rosululloh  saw. Bersabda, “Manusia itu ada tiga macam, yaitu  yang beruntung, yang selamat, dan yang binasa. Yang beruntung adalah yang banyak berdzikir kepada-Nya, yang selamat yang diam, sementara yang binasa adalah yang tenggelam dalam kebatilan.”
Nabi Isa a.s. pernah bersabda bahwa ibadah ada sepuluh bagian. Sembilan  bagiannya barada pada diam. Sedangkan satu bagian lagi berada pada hatinya.
Abu Bakar r.a. pernah meletakan batu kecil pada mulutnya, untuk mencegah lidahnya dari banyak berkata-kata. Ia menunjukan lidahnya dan berkata, “inilah yang mendatangkan kerusakan padaku.”
Syaikh Abdul qadir al-jailani berkata, “perkataan tanpa amal seperti rumah tanpa pintu dan penjaga. Harta yang tidak diinfakkan seperti pengakuan tanpa bukti. Tubuh tanpa ruh laksana patung tanpa tangan dan kaki, serta tanpa kekuatan. Sebagian besar amal kalian laksana tubuh tanpa ruh. Ruh disini adalah keikhlasan, tauhid dan berpegang teguh kepada Al-quran  dan as-Sunnah.”6(Syaikh Abdul Qadir, Fat-hur Rabbani, bab”perkataan tanpa amal.” )